Senin, 23 Januari 2012

CINTA SEUJUNG KUKU


Mengapa banyak orang berbicara terlalu keras kepadanya? Ku rasa dia tidak tuli ataupun gangguan telinga lainnya. Namun orang-orang tak pelikan itu, mereka tetap saja berkata keras dan menyindirnya secara halus. Dia tetap terdiam dan sebenarnya dia memendam semua sakit itu jauh di dalam hatinya. Dia mencoba menahannya, hingga tak sadar tiap malam ia kerap kali memeteskan air mata. Ia mengadukan segala perasaannya ke Tuhan, dan ia juga mendoakan orang yang menghinanya.
Pagi itu, saat mentari baru membuka mata, dan suara merdu burung menghanyutkan suasana kota Denpasar. Tiba-tiba saja mereka memanggilnya dengan lengkingan tajam. Bukanya minta maaf atas kejadia lampau mereka malah kembali mengumpatnya dengan suara yang keras sekali. Perempuan ini menyahutinya dengan senyum dan bertanya apa ada yang bisa dia bantu. Mereka hanya tersenyum sambil mengkerutkan jidadnya. “Memang apa yang bisa dilakukan oleh seorang tua Bangka seperti kau”, kata itu terucap lagi dari mulut bersih mereka. “Jangan bicara begitu, aku ini orang tua kalian”, jawab wanita itu sambil memegang dadanya.  “Ya, orang tua…, kau hanya orang yang akan cepat mati. Jadi tak ada gunanya lagi kau disini. Kami sudah bosan dengan caramu yang kuno itu. Yang tak tahu artinya menjaga kebersihan, tak tahu tentang semua ilmu dan teknologi canggih, yang tak bisa diajak hidup modern. Kau yang mengganggap sama arti sehat dan hemat. Kau yang selalu bertindak dan berkumul dengan kuman-kuman. Dan kau masih bisa bilang kau ini sudah melakukan yang terbaik. Kau tahu betapa pentingnya arti kebersihan, kesehatan, dan teknologi canggih? Sedangkan kau hanya mengerti arti cara hidup kuno yang kotor itu”.

               “Jadi itu yang kau tahu dariku? Apa kau tak pernah merasakan rasa sayangku terhadap dirimu, dan anak-anakmu? Aku menyayangi kalian, tapi mengapa kalian bersikap seperti itu?”, katanya sambil meneteskan air mata. Dia terdiam dalam isak tangisnya dan pergi meninggalkan menantu yang dulu dibanggakannya itu. Hatinya sungguh sakit dan teririd-iris. Dia sudah tak tahan lagi dengan sikap menntunya yang makin hari makin membandel itu. Dia terus bertanya mengapa ini terjadi, apa yang salah dari dirinya. Dia merasa telah mencurahkan semua waktu, cinta, sayang, dan hidupnya untuk keluarganya. Tapi mengapa kini menantunya sendiri menyakiti dia dengan sikap dan kata-katanya yang dingin. Setiap cucunya mengangis selalu saja dia yang disalahkan. Salah memberi makan, salah dalam hal merawat, dalam hal menjaga, dan dalam hal lainnya yang sebenarnya terlalu dilebih-lebihkan.

Kini dia berada di kamar, menangis…, menangis…, dan menangis…. Dia membiarkan air matanya membasuh luka hatinya, peris sekali, dan hanya ini yang ia bisa lakukan sekarang. Dia kembali curhat kepada Tuhan berkata, “Tuhan kuatkanlah hatiku, sembuhkanlah luka ini dengan kasihmu. Aku mohon maafkanlah dia yang telah menyakitiku, dia begitu mungkin karena dia belum mengerti cara membalas cintaku, maafkanlah dia, dan berikan pengertian kepadanya Tuhan. Aku mencintai mereka, anakku, menantuku, dan cucuku. Aku yakin salah satu alasan aku masih berada disini karena aku mencintai mereka  dan Kau mencintaiku.
Pesan : Kasih seorang Ibu tak akan ada habisnya, karena mereka yakin waktu di hidup mereka adalah cinta seujung kuku untuk dibagikan. Walau dipotong, cinta itu akan terus tumbuh seumur hidupnya, selamanya akan begitu.  Sayangilah Ibu, terutama Ibumu, Ibu dari ayah dan ibumu, Ibu suami atau ibu istrimu, Ibu sahabatmu, Ibu pacarmu, Ibu orang lain, dan Ibu alam ini. Karena seorang Ibu layaknya matahari, menerangi, menghangatkan, mengarahkan, menumbuhkan, dan mengeluarkan kita dari kegelapan. Merekalah yang membuat kita sampai bisa seperti ini. Berterimakasihlah dan sayangi mereka.
Karya : Ni Ketut Nugrahaningari (Ari Tayori)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar