Dia Dalam Dua Dimensi
“Meoung, meoung…”, suara kucingku ini baru saja menyadarkanku dari lamunanku tentang dia. Dia yang sering datang dengan candanya. Dia yang selalu memaksaku untuk tersenyum menghadapi saat- saat yang menyakitkan. Dia yang seperti ayahku, menjaga, dan memperhatikanku dengan caranya. Dia yang ku anggap sebagai kakakku, yang ceriakan dan warnai hidupku dengan ejekan, rayuan, dan sering menggangguku. Namun saat dia meminta jadi pacarku…, aku tak bisa menjadikannya seperti apa yang dia inginkan. “Maaf, aku ga bisa…, aku memang sayang ma kamu, tapi sayangnya beda. Bukan sebagai seorang cowok yang akan mendampingiku, tapi lebih sebagai seorang sahabat yang kan menjadi teman jiwaku. Sekali lagi maafkan aku Rama”, kataku sambil menggenggam tangan dan menyelimuti matanya dengan penuh harapan, semoga dia bisa mengerti perasaanku. “Aku kira setelah tiga tahun kita selalu bersama kamu bisa menganggapku lebih. Aku hanya ingin menyampaikan perasaan yang sudah tak dapat lagi kusembunyikan. Kamu tenang saja, aku tak akan mogok makan atau nangis diam-diam di kamar. Aku akan seperti biasanya, seperti aku yang selalu menjaga, melindungi, dan mencintaimu. Maaf juga karena aku terlalu jujur. Aku akan mencoba mengerti perasaanmu Ayu”, katanya dengan penuh ketulusan.
Kejadian itu sudah tiga bulan yang lalu. Saat senja menyelimuti langit yang temaram. Saat anak-anak kelas 3 sudah bersiap menenteng tasnya menuju luar pintu kelas. Namun dia menahanku, berbasa-basi lalu tiba-tiba saja semua itu terjadi. Sekarang saat dia terlihat dekat dengan seseorang mengapa aku merasa ada yang kurang di sisiku. Apakah itu cemburu? Entahlah biar waktu saja yang menjawab. Kini aku akan sibuk menghadapi try out yang sebentar lagi datang menyerbu. Pikiran ku mulai melambat, kusut, jenuh, dan tereduksi mengingat semua energiku sudah habis untuk usaha meraih cita- cita yang akan menentukan hidupku kedepan. Karena sangat lelah akhirnya kuputuskan untuk segera tidur. Aku berharap esok adalah hari yang bahagia dan menyenangkan. “Terima kasih Tuhan atas segala hal yang telah Kau berikan hari ini, semoga esok aku masih bisa melihat mentari terbit dan berlari bersamanya”, ucapku seraya menutup dunia hari ini.
“Ayu Nur…, Ayu Nur…”, teriak seseorang kepadaku. “Hai”, sapaku pada Ari yang sedang berlari menghampiriku. “Yuk, kamu tahu ga kalau Rama udah jadian sama Vika?”, tanya Ari sambi mengatur napasnya. Aku yang kebingungan dengan polosnya berkata bahwa mungkin saja Rama lupa ngasih tahu aku tentang hal ini. Aku kembali terpangu saat tiba di kelas. Mataku menatap kosong, entah bayangan siapa yang muncul. Bayangan Rama, Vika, Ari, dan bayanganku. Susah sekali menerima kenyataan ini.
Vika datang menghampiriku saat pulang sekolah. Dia menemuiku di kantin dan dengan tenangnya dia berkata, “Hai sudah tahu kabar gembira belum?”. “ Kabar kamu jadian sama Vita?, kamu sahabat apaan sih ga bilang- bilang sama aku kalau mau nembak cewek, kan biar aku bisa bantu nyiapinnya. Biar jadi moment yang terlupakan gitu loh Rama”, kataku dengan nada sedikit bercanda, dan muka gembira, padahal di dalam hati sulit sekali mengucapkannya tanpa berpura-pura. “Ia…, ia…, sorry deh”. “Selamat ya sudah jadian, teraktirannya mana nih?”, ucapku setengah hati. Entar deh biar ngumpul sama teman- teman yang lain baru aku teraktir, ok!”. “Ok deh bos”, kataku sambil tertawa dan menepuk pundaknya.
Sehari, seminggu, sebulan, dan kini telah menginjak dua bulan jadian mereka. Namun mengapa hatiku belum bisa merelakan hubungan mereka?. Aku tahu aku cemburu, tapi aku tak tahu cemburu sebagai sahabat yang kehilangan teman bermain, atau sebagai seorang perempuan yang kehilangan pasangan hatinya. Di saat-saat seperti inilah tiba- tiba datang seorang cowok lain yang kembali memberikan api semangat dalam hari-hariku. Namanya Prasta, seorang teman di masa lalu yang kembali hadir melalui dunia maya. Aku sering chating sama dia, dan akhirnya setelah kita ketemuan enam kali, eh dia nembak aku. Dan saat itu aku ngerasa ga ada salahnya aku terima dia, karena dia adalah orang yang baik, rajin, pintar, selalu berpikir positif, ramah, penyayang, pengertian, lebih dewasa dariku, dan yang terakhir ganteng. Pokoknya wah banget deh. Aku merasa sangat beruntung bisa berada di tempat terbaik di hatinya.
Kita sering jalan bareng, dia juga suka nganterin aku sekolah di hari- hari tertentu, selain itu aku ngerasa dia benar- benar perhatian baget sama aku. Sesaat aku mulai melupakan keberadaan Rama yang entah kemana rimbanya, apa mungkin dia salah alamat?. Saat aku jadian saja dia tidak ikut dalam acara teraktiran di kantin. Dia Cuma sms bilang kalau dia juga turut bahagia ngeliat aku sudah menemukan yang cocok di hatiku. Sampai pada suatu ketika dia mengajakku kencan ganda. “Apa kencan ganda?, kayak kurang kerjaan aja deh. Masak pacaran keroyokan gitu, ga malu apa entar diliatin orang, kan aneh gitu rasanya?”, tampikku untuk menutupi kekagetanku. “Ya, sekali-kali kita jalan bareng berempat kan ga apa-apa. Mau ya!”, pintanya padaku. Awalnya aku tetap menolak, tapi karena dia terus memaksa akhirnya aku menyetujuinya. Untungnya Prasta mau diajak kencan bareng ini. “Ingatnya acaranya lagi dua minggu”, kataku sambil tersenyum kepadanya.
Di suatu malam, saat hujan turun aku tetap ingin pergi ke tempat acara itu. Setibanya di sana ternyata belum ada seorangpun yang dating aku hanya menunggu sambil menikmati alunan musik jass dibaluti suasana dinginnya malam ini. Aku sudah kabari semuanya kalau aku sudah di TKP dan mulai bosen nunggu mereka sampai lumutan, tapi setelah 20 menit belum ada seorangpun yang datang. Aku mengambil tas beranjak pergi ke toilet, dan saat aku kembali ternyata sudah ada seorang cowok yang duduk disana. “Pasti itu Prasta, karena tadi dia bilang akan memakai kemeja coklat”, kataku dalam hati sambil menghampiri cowok itu dari belakang. Ku menutup matanya dari belakang dan dia memegangi tanganku, lalu aku diam, dia juga diam. Dia berbalik dan mulai melepaskan tangan ku. Secara tak sadar aku juga ikut melakukan yang sama saat dia hanya terpaku pada sosokku yang kini mulai kebingungan dan malu. “Eh Rama, sorry, aku kira kamu Prasta”. “Oh ia, ga apa- apa. Tadi Prasta sms aku dia ga bisa datang. Ibunya tiba- tiba haruspergi ke luar kota, jadi ia harus mengantarnya ke bandara. Ia bilang tidak enak membuatmu kecewa, makanya dia suruh aku yang menyampaikannnya”. “Lalu Vika mana?”, tanyaku yang sudah mulai agak kesal. “Dia juga ga bisa datang, karena dia harus ke dokter meriksain jerawatnya”, kata Rama yang juga terlihat agak kesal.
Karena sudah terlanjur ada di TKP, kami langsung saja memesan makanan dan minuman berhubung perut sudah tak bisa diajak kompromi lagi. Kami asyik makan sambil ngobrol berdua disana dan disaat akan pulang tiba-tiba saja hujan turun lebat sekali. “Sudah deh, Ayu kamu ikut mobilku aja sudah malam juga kali”, kata Rama menawarkan tumpangan. “Oke deh, makasi banget ya, sorry kalo ngerepotin”. “Buat kamu apasih yang enggak”, katanya sambil tertawa. Di tengah-tengah jalan dia mulai menceritakan hubungannya dengan Vika yang mulai sedikit renggang. Kata Rama, Vika itu manja, dan ketergantungan baget. “Ya sudah, coba saja kamu nasehatin dia biar mau berubah”, kata dengan suara datar. “Boleh ga aku jujur ma kamu Ayu?”, tanyanya sambil menatapku dalam. “Boleh aja, memang apaan?”. “Aku sebenarnya cemburu sama kamu. Kamu bisa seakrab dan sedekat gitu sama Prasta. Lebih dekat dari pada hubungan kita ini”, katanya dengan tenang. “Kamu kan tahu dia pacarku, masak aku mau mesranya sama kamu, yak kan ga mungkin”, jawabku. “Ia, juga ya. Coba saja kamu yang jadi pacarku pasti…”. “Sudahlah Rama, kamu yang paling mengerti perasaanku”. Kita saling terdiam dan saat sudah sampai di depan gerbang Rama hanya tersenyum kecil melepas kepergianku dari mobilnya. Tanpa ada kata-kata semua berlalu begitu saj seperti malam sunyi dan semilir angin dingin.
Dikamar aku memikirkan segalanya. Ku rasa memang Rama yang mengerti perasaanku. Sebenarnya dia tahu aku yang cemburu, aku juga menginginkannya. Tapi aku harus setia, kini Prasta sudah ada di sisiku, akan sangat jahat jika aku menghianatinya dengan cinta pertama yang masih tersimpan di hatiku ini. “Maafkan aku Rama, maafkan aku Prasta, Karena aku telah membohongi semuanya, termasuk diriku sendiri. Namun ini untuk kebaikan kita semua dan sekali lagi baiarlah waktu yang menyelesaikan akhir kisah ini, untuk kebahagian semua hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar